Minggu, 21 November 2010

Sekilas Sejarah Besemah

Ilustrasi menarik mengenai tempat orang-orang Pasemah pernah dituliskan oleh JSG Grambreg, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang ditulisnya tahun 1865 sebagai berikut:



Barang siapa yang mendaki Bukit Barisan dari arah Bengkulu. kemudian menjejakkan kaki di tanah kerajaan Palembang yang begitu luas; dan barang siapa yang melangkahkan kakinya dari arah utara Ampat Lawang (negeri empat gerbang) menuju ke dataran Lintang yang indah, sehingga ia mencapai kaki sebelah Barat Gunung Dempo, maka sudah pastilah ia di negeri orang Pasemah. Jika ia berjalan mengelilingi kaki gunung berapi itu, maka akan tibalah ia di sisi timur dataran tinggi yang luas yang menikung agak ke arah Tenggara, dan jika dari situ ia berjalan terus lebih ke arah Timur lagi hingga dataran tinggi itu berakhir pada sederetan pengunungan tempat, dari sisi itu, terbentuk perbatasan alami antara negeri Pasemah yang merdeka dan wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Dari kutipan itu tampak bahwa saat itu wilayah Pasemah masih belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Operasi-operasi militer Belanda untuk menaklukkan Pasemah sendiri berlangsung lama, dari 1821 sampai 1867. Johan Hanafiah budayawan Sumatra Selatan, dalam sekapur sirih buku Sumatra Selatan Melawan Penjajah Abad 19 tersebut menyebutkan bahwa perlawanan orang Pasemah dan sekitarnya ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan abad 19, berlangsung hampir 50 tahun lamanya.Johan Hanafiah juga menyatakan bahwa pada awalnya orang-orang luas, khususnya orang Eropa, tidak mengenali siapa sebenarnya orang-orang Pasemah. Orang Inggris, seperti Thomas Stamford Rafless yang pahlawan perang Inggris melawan Belanda di Jawa (1811) dan terakhir mendapat kedudukan di Bengkulu dengan pangkat besar (1817-1824) menyebutnya dengan Passumah. Namun kesan yang dimunculkan adalah bahwa orang-orang Passumah ini adalah orang-orang yang liar. Dalam The British History in West Sumatra yang ditulis oleh John Bastin, disebutkan bahwa bandit-bandit yang tidak tahu hukum (lawless) dan gagah berani dari tanah Passumah pernah menyerang distrik Manna tahun 1797. Disebutkan pula bahwa pada tahun 1818, Inggris mengalami dua malapetaka di daerah-daerah Selatan yakni perang dengan orang-orang Passumah dan kematian-kematian karena penyakit cacar.Pemakaian nama Passumah sebagaimana digunakan oleh orang Inggris tersebut rupanya sudah pernah pula muncul pada laporan orang Portugis jauh sebelumnya. Disebutkan dalam satu situs internet bahwa Portugis pernah mendarat di Pacem atau Passumah (Puuek, Pulau Sumatra) pada bulan Mei 1524. Namun, dari korespondensi pribadi dengan Marco Ramerini dan Barbara Watson Andaya, diperoleh konfirmasi bahwa yang dimaksudkan dalam laporan Portugis itu adalah Aceh, bukan Pasemah seperti yang dikenal ada di Sumatra Selatan sekarang. Hal ini juga terindikasi dari lokasi Pacem itu sendiri yang dituliskan berada pada 05_09’ Lintang Utara - 97_14’ Bujur Timur). Gunung Dempo sendiri yang disebut -sebut oleh Gramberg di atas berada pada posisi 04_02’ Lintang Selatan - 103_008’ Bujur Timur.Nama Pasemah yang kini dikenal sebetulnya adalah lebih karena kesalahan pengucapan orang Belanda, demikian menurut Mohammad Saman seorang budayawan dan sesepuh di sana. Adapun pengucapan yang benar adalah Besemah sebagaimana masih digunakan oleh penduduk yang bermukim di sana. Namun yang kini lebih dikenal adalah nama Pasemah. Konon, munculnya nama Besemah adalah karena keterkejutan puyang Atong Bungsu manakala melihat banyak ikan “Semah” di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Yang terucap oleh puyang tersebut kemudian adalah “Be-semah” yang berarti ada banyak ikan semah di sungai tersebut. Hal ini juga tertulis dalam sebuah manuskrip kuno beraksara Latin berjudul Sejarah Pasemah yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI di Jakarta. Dalam manuskrip ini dikisahkan bahwa Atong Bungsu ke Palembangan, Muara Lematang. Dia masuk dan memeriksa rimba yang kemudian dinamainya Paduraksa yang berarti “baru diperiksa”. Istrinya, yakni Putri Senantan Buway, setelah mencuci beras di sungai, pulang ke darat dengan membawa ikan semah. Maka tanah tersebut kemudian dinamakan oleh Atong Bungsu sebagai Tana Pasemah.Atong Bungsu itulah yang dipercaya sebagai nenek moyang suku Pasemah. Menurut manuskrip di atas, puyang Pasemah ini adalah keturunan dari Majapahit. Ia adalah salah seorang anak dari delapan anak dari seorang raja di Majapahit yang berjulukan Ratu Sinuhun. Gramberg sendiri juga menuliskan demikian:
Quote:
Orang Pasemah sikapnya kaku dan teguh bila berdiri untuk menegaskan bahwa kakek moyangnya berasal dari Jawa, dan lebih dari itu, bahwa ia pun berasal dari Majapahit, ia pun kemudian bercerita mengenai dongeng (mitologi) yang hidup di kalangannya. Menarik untuk ditambahkan bahwa Gramberg juga melukiskan adanya perbedaan yang sangat mencolok antara orang Pasemah dengan orang Melayu dataran tinggi yang tinggal disekitarnya. Menurutnya, orang Pasemah pertama-tama adalah petani yang membangun sawah, memasang saluran air dan menggunakan hewan penarik beban. Sehingga, dalam hal bertani kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada orang Melayu di sekitarnya yang hanya mengenal peladangan. Selain itu, dari raut muka terlihat kecerdasannya yang lebih, bangun tubuhnya lebih terkembang, dengan sepak terjang yang lebih enerjik. Kemudian, dengan agama yang menyembah berhala serta dari segi akar kosa kata yang digunakan, Gramberg lebih yakin dengan teori bahwa orang Pasemah adalah masuk ras orang Jawa kuno.Mengenai persawahan, manuskrip kuno Sejarah Pasemah juga diungkapkan kisah Puyang Keriya Sidi yang mengajak orang untuk membuat sawah, sehingga orang Pasemah saat itu membuat sawah tidak berkesudahan. Hal ini kembali menyiratkan bahwa orang Pasemah masa dahulu sudah cukup dalam dalam mengolah lahan pertanian, bahkan persawahan.Mengenai puyang Atung Bungsu, agak berbeda dengan cerita di atas, Rahman Effendi Martabaya (2004) menyebutkan bahwa Atung Bungsu sebetulnya adalah Putra Mahkota Kerajaan Rao di India, dengan nama lengkap Y.M. Sri Mapuli Atung Bungsu. Menurutnya, Atung Bungsu memimpin angkatan laut kedua dari Kerajaan Rao yang dikirim pada tahun 101 Saka/179 Masehi setelah angkatan pertama yang dikirim sebelumnya ke Sumatra tidak ada kabarnya. Dalam tulisan Martabaya tersebut ditemukan adanya air sungai/Ayik Besemah yang dari dataran tinggi Bukitraja Mehendra Mahendra (Bukit Raje Bendare) yang mengalir ke Barat dan bermuara di Sungai Lematang wilayah Kota Pagar Alam. Bukit Raje Bendare ini sampai saat ini masih ada, terletak di Kecamatan Tanjung Sakti.Pada saat ini, Pasemah dikenal sebagai nama sebuah suku di suatu dataran tinggi di seputar Gunung Dempo (3159 m) dan Bukit Barisan (400-900 m), Sumatera Selatan. Di sekitarnya terdapat suku-suku lain seperti Semendo (disebut-sebut berakar dari silsilah yang sama), Lintang, Gumay, Empat Lawang. Namun demikian terkadang, Pasemah langsung dihubungkan dengan Kabupaten Lahat. Artinya, Pasemah dianggap juga mencakup suku-suku di sekitarnya, seperti Lintang). Pasemah sendiri, dalam beberapa sumber dipilah menjadi beberapa bagian, yakni Pasemah Lebar, Pasemah Ulu Manna (di sebelah Selatan), Pasemah Ulu Lintang (sebelah Barat Laut), Pasemah Air Keruh (berada jauh di balik Bukit Barisan. Tiga terakhir ini penduduknya berasal dari Pasemah Lebar yang beremigrasi dan beradaptasi dengan daerah di sekitarnya yaitu bekas daerah Kesultanan Palembang dan daerah jajahan Inggris di Bengkulu. Pasemah Ulu Manna sendiri, pada masa penjajahan Belanda masuk Karesidenan Bengkulu. Kecamatan Tanjung baru menjadi bagian dari Sumatera Selatan sejak tahun 1948, setelah dilakukan pemungutan suara dengan cara yang sederhana untuk menentukan hendak menjadi bagian dari Sumatera Selatan ataukah Bengkulu. Namun, daerah yang agaknya paling pas untuk menunjuk keberadaan suku Pasemah adalah perbatasan Sumatera Selatan dan Bengkulu.Terlepas dari hal itu, Pasemah sendiri mempunyai tempat khusus dalam studi-studi arkeologi sehubungan dengan peninggalan-peninggalan pra-sejarahnya. Seperti disebutkan oleh Peter Bellwood seorang arkeolog dari Australian National University (ANU), Dataran Tinggi Pasemah merupakan salah satu pusat temuan bangunan-bangunan prasejarah yang penting di Indonesia. Bangunan megalitik Pasemah yang ada disebutkan sangat menarik dan telah menarik perhatian, sejak tahun 1950. Berbagai bentuk pahatan batu dikenal sebagai The Art of Pasemah. Berkaitan dengan tugu batu yang ada di Pasemah, antropolog Belanda Heine-Geldern pernah memperkirakan bahwa hal ini merupakan petunjuk telah adanya hubungan erat dengan Cina sekitar abad 1-2 SM, karena kemiripannya dengan peninggalan serupa di satu wilayah di Cina. Sebagian uraian Victor Purcell (1965) yang dikutip Lewis adalah sebagai berikut:
Quote:
…Dr. Heine-Geldern di tahun 1934 menjelaskan stylistic similarities antara pahatan batu prasejarah yang ada di daerah Pasemah di Sumatra bagian Selatan dengan yang ada di makam Jenderal Cina Huo K'iu-ping di Propinsi Shensi China, yang dibuat tahun 117 SM. Ini, katanya, tampaknya mengindikasikan setidaknya ada hubungan erat dengan Cina, yang mungkin telah mulai ada sekitar abad pertama dan kedua SM… Bellwood dalam bukunya meragukan kesimpulan bahwa hubungan dengan Cina sudah terjadi pada abad-abad itu. Menurutnya, kontak dagang Indonsia dengan Cina mungkin amat jarang terjadi sebelum Dinasti Tang (618-906 M). Sementara Kamil Mahruf memperkirakan suku Pasemah telah ada sekitar awal tahun 700-an. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa Prasasti Palas Pasemah yang ada di Lampung dan bertahun 680 M itu ada hubungannya dengan Tanah Pasemah.
Keterangan:Tulisan di atas merupakan bagian dari artikel utuh hasil penelitian Aloysius Gunadi Brata (Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Oktober – 2005) yang berjudul “Problematika Masyarakat Kopi Pasemah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar