Kamis, 02 Desember 2010

The Rise of Sriwijaya Empire (sebuah versi cerita Sriwijaya)

The Rise of Sriwijaya Empire

Pada tahun 600 Masehi terdapat suku di pedalaman Sumatera Selatan yang di kenal dengan nama suku Sakala Bhra ( purba ) yang berarti Titisan Dewa , suku ini mendiami daerah pegunungan dan lembah bagian utara di sekitar gunung Seminung daerah perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung .
Suku ini terpecah menjadi dua kelompok masyarakat, yang pertama yang mendiami kawasan sekitar gunung Seminung dan turun ke lembah bagian utara sampai ke Lampung kemudian sebagian lagi turun ke daerah bawah dengan mengikuti aliran sungai di daerah huluan sumatera selatan yang kemudian di kenal dengan suku SAMANDA_DI_ WAY yang berarti orang yang mengikuti aliran sungai dan berakhir di Minanga ( Purba ), suku ini yang kelak kemudian asal mula suku Daya, Komering, Ranau,. ( Van Royen -1927 )

Minanga karena kedudukannya di tepi Pantai di tinjau dari berbagai segi memikul beban sebagai ibukota negara. Adapun bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malayu Kuno atau Proto Malayu yang merupakan cikal bakal bahasa komering, didaerah uluan sumatera selatan.

Kerajaan tersebut di pimpin oleh seorang Raja yang hebat dan sakti , yang bernama JAYA NAGA kemudian oleh masyarakat pedalaman di beri Gelar DA-PUNTA-HYANG yang berarti Maha Raja yang Keramat , sekarang pun di daerah uluan sumatera selatan masih dapat kita kenal gelar Pu-Yang untuk orang yang kita anggap sesepuh maupun orang yang mempunyai kesaktian tinggi..
Kerajaan ini kemudian di kenal dengan negeri kedatuan SRIWIJAYA disebut juga dalam kronik ( tulisan ) di negeri china yaitu kerajaan Shi Li Fo Shih
Kerajaan ini setiap tahun nya mengirim utusan ke negeri china tercatat sejak tahun 670 s/d 742 yang pada saat itu di negeri China sedang berkuasa Dinasti Tang ( 618–907 ).
Disebut pada dalm satu tulisan di negeri China bahwa ada kerajaan dari laut china selatan yang selalu mengirim utusannya ke Tiongkok, kerajaan itu bernama Shi-Li-Fo-Shih yang di transeleterasikan menjadi Sriwijaya.
Pada tahun 671 Masehi seorang pendeta China yang bernama It-Tsing mengunjungi kerajaan ini dalam perjalanannya menuju India untuk memperdalam ajaran Budha.
It-Tsing menetap 6 bulan di Minanga ibukota kedatuan Sriwijaya untuk memperdalam bahasa Sansekerta , dengan bantuan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga , It-Tsing Berangkat menuju tanah Melayu ( Jambi ) dan menetap selama 2 bulan sebelum melanjutkan perjalanan melalui Kedah terus keutara menuju India.

Dapunta Hyang Sri JayaNaga sangat di sayangi dan di sanjung oleh rakyatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga merupakan pemimpin yang arief , bijaksana dan adil terhadap rakyatnya. Jaya Naga juga seorang penganut Budha yang taat. Dengan Kesaktiannya ia dapat mengetahui dan membaca gerak gerik alam, langit, matahari,bulan, bintang , hawa, hujan, angin, batu, tanah dan hewan, sehingga penduduk kedatuan ini menganggap Jaya Naga merupakan sosok titisan Dewa diatas Brahmana yang merupakan perantara manusia dengan sang Ghaib yang diturunkan ke bhumi untuk menjaga dan melindungi pulau surga (Swarna Dwipa). Setiap kata yang diucapkannya merupakan petunjuk, setiap petuah dan nasehat menjadi adat dan istiadat, kebaikannya merupakan anugerah dan kebahagian bagi penduduk dan kemarahan beliau merupakan malapetaka.
Setiap daerah taklukkannya Jaya Naga selalu menunjuk pemimpin setempat yang di ambil dari Jurai Tua ( sesepuh masyarakat ) untuk menjadi Datu ( Ratu – pemimpin ) di daerahnya sendiri tetapi tetap terikat sebagai bagian dari daerah kedatuan Sriwijaya.
Jaya Naga juga mampu menyatukan beberapa rumpun suku yang ada di daerah pedalaman atau uluan sumatera selatan yang awalnya semua penduduk berasal dari tiga rumpun suku yang mendiami tiga gunung yang ada yaitu Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Bukit Kaba, System pemerintahan inilah yang kelak menjadi asal mula system pemerintahan Marga yang ada di daerah uluan sumatera selatan.
Kedatuan Sriwijaya terkenal merupakan kerajaan yang makmur dengan hasil alamnya berupa kayu kamper, kayu gaharu, Pinang, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Selain itu juga kerajaan Sriwijaya merupakan pusat kebudayaan agama Budha Mahayana yang mana daerah ini merupakan perlintasan perjalanan para pendeta budha yang ingin memperdalam pertapaannya dari India ke China maupun sebaliknya, dan dalam perkembangannya kerajaan Sriwijaya merupakan pusat Studi agama Budha di kawasan Asia tenggara terutama daerah semenanjung Selat Malaka dan Selat Sunda terbukti dari catatan It-Tsing, kerajaan Sriwijaya mempunyai 1.000 pendeta Budha, pendeta Budha yang cukup terkenal dari Kedatuan Sriwijaya ini bernama Sakyakirti.
Penduduk kerajaan ini sebagian merupakan petani dan sebagian lagi merupakan saudagar yang melakukan perdagangan dengan India , Melayu dan China . Pedagang dari Tiongkok dagang ke Sriwijaya dengan membawa keramik ,porselein dan sutra untuk di tukarkan dengan emas, permata dan komoditas lain dari negeri ini yang merupakan tempat dimana komoditas penting pada jaman itu sampai dengan sekarang merupakan kekayaan alam pulau ini sehingga orang pada masa itu menyebut pulau ini dengan Pulau Surga ( Swarna Dwipa ) .
Kerajaan ini di aliri oleh sungai-sungai ( kanal-kanal) kecil yang memasuki perkotaan sehingga perahu merupakan sarana transportasi penting masyarakat kota tersebut sehingga kerajaan ini terkenal dengan armada kapal – kapal yang kuat dan rapi yang kemudian dapat menguasai seluruh kawasan pelayaran di selat Malaka dan selat Sunda .

Pada saat itu pelabuhan Palembang yang merupakan pintu masuk ke perairan sungai-sungai yang ada di uluan sumatera selatan banyak di kuasai perompak-perompak.
Kondisi seperti ini membuat kapal kapal yang berlayar di pantai timur pulau sumatera berlabuh di pelabuhan Melayu ( Jambi ) kemudian melanjutkan pelayaran tanpa memasuki pelabuhan Palembang.
Kisah perkembangan kerajaan Sriwijaya ini dimulai dari apa yang diutarakan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada Hari kesebelas bulan terang bulan Wai Saka tahun 605, Dapunta Hyang Jayanaga berperahu kembali ke Minanga selepas melakukan pertapaan di gunung Seminung. Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari sang Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan di karenakan pada waktu itu Minanga ( ibukota kerajaan ) terletak dalam suatu teluk dimana sungai komering bermuara kurang strategis di pandang dari sudut perdagangan.

Untuk Mewujudkan cita – citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba). Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga menaklukan daerah yang juga satu Rumpun tersebut yang terletak di sekitar bukit Pesagih di Hujung Langit Lampung Barat dan kemudian semua penduduk di ikat oleh Sumpah setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menjadi bagian dari kerajaan Sriwijaya. ( Prasasti Hujung Langit – Lampung Barat )
Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan keberanian, dan kekuatannya.

Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) di daerah palembang sebagai titik temu. Palembang pada jaman itu merupakan kota di pinggir pantai di mana bukit Sigiuntang merupakan tanjung palembang yang menjorok ke laut. Tempat ini adalah dataran tinggi yang merupakan mercu suar atau tempat pintu masuk ke tanjung Palembang yang merupakan akses laut menuju ke sungai sungai yang ada di sumatera.selatan.
Pada peta pantai timur Sumatra purba di tepi pantai timur teluk purba terdapat 2 tanjung yang menjorok jauh kearah laut , kearah utara dengan jambi di ujungnya, dan yang timur menjorok kearah tenggara dengan Palembang berada diujungnya. Tanjung Palembang terbentuk oleh Bukit Siguntang sedang di selatan bukit ini terdapat teluk yang menjorok dalam lagi di mana sungai komering bermuara.

Kemudian Dapunta Hyang Sri Jaya Naga membawa 20.000 ( Dua Puluh Ribu ) pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan. Selama dalam perjalanan terjadilah pertempuran – pertempuran kecil yang tidak terlalu berarti yang merupakan perlawanan dari daerah daerah yang di lintasi oleh laskar Kerajaan Sriwijaya.

Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau rumah ( barak ) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa laskar Sriwijaya , untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit .
Setelah Mengadakan konsolidasi di daerah Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) dan kemudian menguasai pelabuhan palembang , maka “ pada hari kedua bulan terang bulan Caitra tahun 606 Saka ( 23 Maret 684 M ) Dapunta Hyang Sri Jaya Naga sangat puas akan kesetiaan rakyat setempat. Oleh karena itu di bangunlah Taman Sriksetra dengan pesan agar semua hasil yang di dapat di dalam taman ini seperti Nyiur, Pinang, Enau, Rumbia dan semua yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, demikian pula halnya dengan tebat dan telaga agar dapat di pelihara sehingga berguna bagi sekalian makhluk. Untuk itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga memohon restu agar ia selalu sehat sentosa terhindar dari para penghianat yang tidak setia, termasuk para abdi bahkan oleh istri-istri beliau. Karena beliau tidak akan menetap lama beliau menambah pesannya : “ Walaupun dia tidak berada di tempat dimanapun dia berada janganlah hendaknya terjadi Curang, Curi, Bunuh dan Zinah di situ. Akhirnya di harapkan doa agar beliau mendapatkan Anuttara bhisayakasambodhi “
( Parasasti Talang Tuo )

Setahun kemudian terjadilah pemberontakan yang di pimpin oleh Perwira Lokal yaitu Kandra Kayet sehingga menimbulkan korban termasuk salah satu Panglima Perang Sriwijaya terbunuh yang bernama Tan Drun Luah, walaupun demikian Kandra Kayet yang gagah perkasa dapat di di bunuh oleh Dapunta Hyang Sri Jaya Naga dan mati sebagai penghianat.
Untuk mengingat hal ini maka di buatlah suatu prasasti persumpahan untuk mengikat setiap para pejabat lokal yang ada di daerah taklukan agar dapat tetap setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kalau tidak maka akan terkutuklah dan di makan sumpah ( Prasasti Telaga Batu ).

Batu persumpahan yang dimaksud antara lain berbunyi :
- “……. kamu sekalian, seperti kamu semuanya, anak raja, bupati, panglima Besar,…….hakim pengadilan……kamu sekalian akan dimakan sumpah yang mengutuk kamu. Apabila kamu sekalian tidak setia kepada kami kamu akan dimakan sumpah. ( 1-6 )”.
- “ Apabila kamu berhubungan dengan pendurhaka yang menghianati kami …………orang yang tidak tunduk kepada kami serta kedatuan kami kamu akan di bunuh oleh sumpah kutuk ini. ( 7-8 ) “.
- “ Apabila kamu menabur emas permata untuk meruntuhkan kedatuan kami atau menjalankan tipu muslihat………..dan apabila kamu tidak tunduk kepada negara kedatuan kami maka terkutuklah kamu akan dimakan dibunuh sumpah kutuk. ( 11-12 ) “.
- “ Demikian pula apabila kamu melawan kepada kami di daerah-daerah perbatasan negara kedatuan kami kamu akan dimakan, di bunuh. (13-14).
- “ ……lagi pula kami tetapkan pengangkatan menjadi datu dan mereka yang melindungi sekalian daerah negara kedatuan kami putra mahkota, putra raja kedua, dan pangeran lain yang didudukan dengan pengangkatan menjadi datu, kamu akan dihukum apabila kamu tidak tunduk kepada kami ( 19-20 )”.

Secara Geografis palembang adalah tempat yang strategis untuk menguasai lalu lintas pelayaran di Laut China Selatan. Namun kebanyakan pada waktu itu kapal – kapal berlayar singgah di kerajaan Melayu ( Jambi ) yang juga merupakan pelabuhan strategis di pantai timur sumatera kemudian kapal kapal tersebut melanjutkan perjalanannya ke utara tanpa singgah lagi di pelabuhan palembang.
Melihat kondisi seperti ini Dapunta Hyang Jaya Naga berencana untuk menaklukan kerajaan Melayu ( Jambi ) untuk di jadikan wilayah kekuasaan kedatuan Sriwijaya.

Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bersama pasukannnya segera menuju Melayu, yang dari semula tanah Melayu sudah di rencanakan untuk di tundukkan.
Pada tahun 685 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, Kerajaan Melayu takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Melayu yang kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. Di abad ke-7, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian imperium Sriwijaya.
Untuk meneruskan perjalanan ke Selatan dengan tujuan akhir adalah bumi Jawa tentu saja Melayu harus segera pula di tinggalkan. Peristiwa pemberontakan Kandra Kayet terus saja terbayang oleh sri baginda dan ini di jadikan sebagai contoh oleh Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kepada setiap pejabat lokal bahwa setiap penghianatan, walau di lakukan oleh seorang perkasa sekalipun dapat di tumpas . kemudian penduduk kerajaan Melayu pun di ikat dengan Sumpah maka di pahatlah prasasti Karang Brahi.
Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali berangkat dengan melalui lautan berarti harus melalui selat Bangka . Oleh karena itu kerajaan Bangka harus pula di tundukkan lebih dahulu. Setelah menaklukan kerajaan Bangka, Dapunta Hyang Jaya Naga bersiap melanjutkan perjalanannya ke Bumi Jawa, namun sebelum keberangkatan Sri Baginda, penguasa lokal dan rakyatnya harus di beri peringatan dan di ikat dengan persumpahan untuk selalu setia kepada Dapunta Hyang Sri Jaya Naga. Demikianlah pada akhirnya : “ Pada hari pertama bulan terang Waiseka tahun 608 Saka atau tahun 686 Masehi Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga meninggalkan Batu Prasasti Persumpahan yang kita kenal sebagai Parasasti Kota Kapur dan segera menuju Bumi Jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya.
Dalam perjalanan Sri Baginda menuju Bumi Jawa masih ada daerah yang berdiri sendiri di pantai timur Sumatera Bagian Selatan, untuk kepentingan keamanan penguasaan laut selatan, kerajaan itu harus pula di tundukan. Kerajaan itu sebenarnya berasal dari satu rumpun wangsa Sakala Bhra. Kerajaan itu adalah kerajaan Ye-Po-Ti ( Way Seputih ) di lampung Selatan. Sama dengan peristiwa- peristiwa lainnya, setiap beliau meninggalkan daerah – daerah yang rawan pemberontakan harus diadakan sumpah setia terlebih dahulu. Sumpah tersebut terpahat dalam Prasasti Palas Pasemah.
Dari Way Seputih Rombongan langsung menuju Bumi Jawa, Dapunta Hyang Sri Jaya Naga mengutus salah Satu Panglima terbaiknya yang juga merupakan kerabat dekat kerajaan yaitu Dapunta Sailendra untuk memimpin pasukan Sriwijaya menuju Bumi Jawa. Dari data yang ada tampaknya mereka menuju Jawa tengah bagian utara.
Pada saat inilah di nyatakan oleh berita di neger China ( Dinasti Tang ) bahwa kerajaan Sriwijaya terpecah menjadi dua bagian masing- masing mempunyai pemerintahan sendiri. ( Kronik Dinasti Tang ).
Pada periode perkembangan kerajaaan Wangsa Sailendra di Jawa Tengah harus melaksanakan perintah Sri Baginda Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk membangun candi di Ligor ( Muangthai ) candi tersebut baru selesai tahun 775 di resmikan oleh raja Wisnu dari Wangsa Sailendra.
Sementara itu Dapunta Hyang Sri Jaya Naga kembali ke Minanga untuk melanjutkan memerintah Kedatuan Sriwijaya yang menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka dan Laut China Selatan .
Berdasarkan prasasti Kota Kapur, Kerajaan Sriwijaya menguasai bagian selatan Sumatera hingga Lampung, mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Budha Sailendra di Jawa Tengah berada di bawah dominasi Sriwijaya.
Masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Di akhir Abad ke 7 ibukota Minanga telah mengalami malapetaka hingga Silap atau hilang secara misterius di telan bumi. Keadaan ini membuat Sri Baginda Dapunta Hyang Jaya Naga bersedih sehingga mengasingkan diri ke Gunung Seminung untuk bertapa sampai akhir hayatnya.( Legenda Minanga Sigonong-Gonong )

SRIWIJAYA DI SWARNABHUMI……………

Sejak pertapaan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Gunung Seminung sekitar tahun 742 sebagian besar anggota pasukan dan rombongan yang mengikutinya terpecah masing-masing mencari tempat sendiri-sendiri, ada yang kemudian mendirikan Minanga baru dan ada juga yang lari kepulau jawa. Sementara kota Minanga sendiri menjadi mitos kota yang hilang yang sampai sekarang menjadi suatu kawasan yang paling angker yang di namakan penduduk sekitar menjadi SiGonong-Gonong yang tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang tanpa seijin ghaib disana , siapa yang masuk ke daerah itu tanpa izin akan ikut hilang tak tampak oleh kasat mata.( Legenda Minanga sigonong-gonong ).

Sementara itu menurut analisis Paleografi , teluk Minanga di mana sungai komering bermuara telah mengalami pendangkalan akibat dari pengendapan lumpur dari sungai komering. Pantai Timur di bagian sumatera selatan mengalami pendakalan 125 meter per tahun, dimana sejak keberangkatan Dapunta Hyang Sri Jaya Naga ke Mukha Upang ( Kedukan Bukit ) pada tahun 683 Masehi sampai dengan kepulangan tahun 742 Masehi Teluk Minanga telah mendangkal sepanjang 6 kilometer. Membuat kedudukan Minanga sudah jauh dari garis pantai timur Sumaetra , dengan posisi seperti itu maka Kerajaan Sriwijaya tidak mungkin lagi mengawasi daerah-daerah bawahannya secara efektif, sehingga lambat laun daerah yang ditaklukan dan diikat dengan persumpahan itu menjadi lepas berdiri sendiri. Daerah daerah tersebut kemudian membentuk pemerintahan lokal yang berdiri sendiri, palembang kemudian menjadi kota pelabuhan yang berdiri sendiri yang terkenal dengan nama Swarna Bhumi , Jambi menjadi kerajaan lokal dan menjadi kota pelabuhan terbesar pada saat itu. Sementara daerah uluan di sumatera selatan mereka membuat kelompok masyarakat seketurunan ( kepuhyangan ) dan hidup menyebar di pedalaman sumatera selatan yang di kenal dengan masyarakat hukum dengan azas pertalian darah ( Geneologische Rechtgemeenschap ) Dalam masyarakat hukum dengan azas seperti ini maka kekuasaan dengan sendirinya di pegang oleh seorang “Jurai Tua” yang di sebut Pase-lurah atau Pasirah yang dikenal sekarang ini yang berkedudukan sebagai pemimpin ( primus inter pares ). Kewajiban pemimpin tidak lebih dari memelihara dan mempertahankan hukum yang mereka sepakati dan di jadikan adat bagi sesama mereka, menjaga batas – batas wilayah dan menjaga batas-batas antara yang boleh dan yang terlarang.

Di daaerah Batanghari Komring kelompok seketurunan ini menempati daerah yang disebut “ Morga “ di kepalai oleh seorang sepuh yang berfungsi sebagai Ratu Morga dengan gelar KAI-PATI . Di daerah Rejang kelompok seketurunan ini dinamai Petulai yang dipimpin seorang sesepuh dengan sebutan DEPATI . ( Marga di Bumi Sriwijaya – H.M.Arlan Ismail, SH – 2005 ).
Masa inilah atau selama 218 tahun terjadi kekosongan pemerintahan di Sriwijaya , tercatat oleh berita di negeri China, Sriwijaya tidak pernah lagi mengirim utusan ke negeri China sejak tahun 742 Masehi ( Kronik Dinasti Tang ) sampai tahun 960 Masehi

Sementara itu di Jawa Tengah berkembang dinasti Dapunta Sailendra yang merupakan Raja-Raja dari Bumi Sriwijaya yang diutus Dapunta Hyang Sri Jaya Naga untuk menaklukan Bhumi Jawa.
Nama Dapunta Sailendra di kumandangkan dimana-dimana sementara Dapunta Hyang Sri Jaya Naga raja Sriwijaya tetap di Puja-Puja oleh Dinasti Sailendra..
Pada tahun 775 Masehi terpahat sebuah prasasti di Ligor ( Muangthai ) menandai peresmian sebuah bangunan candi yang terdiri beberapa bagian yang intinya adalah pujian terhadap Raja Sriwijaya yang dikatakan laksana bulan di musim rontok yang sinarnya menyuramkan segala sinar bintang, raja yang berkuasa gemilang dan yang paling baik di antara segenap raja dipermukaan Bhumi, kemudian menyatakan bahwa raja Sriwijaya yang memerintahkan untuk membangun batu Trisamaya Caitya untuk Padmapani, Sakyamuni dan Wajrapani guna di persembahkan kepada semuaJina yang menduduki sepuluh tempat diangkasa dan memerintahkan Jayanta membangun Stupa Trayamasi.kemudian yang terakhir menyatakan raja Wisnu dari wangsa sailendra yang berkuasa pada masa itu kemudian di tutup dengan pujian kembali kepada raja Sriwijaya yang dikatakan menyerupai Indra. ( Prasasti Ligor–Muangthai ).

Pangeran Balaputra Dewa merupakan putera bungsu Raja Samaragrawira dari Wangsa Sailendra kehilangan haknya untuk memerintah negeri di Bhumi Jawa di karenakan putera tertua adalah Pangeran Samaratungga sehingga Pangeran Samaratungga yang berhak memimpin kerajaan di Bhumi Jawa, yang kemudian Jatiningrat menikah dengan Pramodawardhani putri Raja Samaratungga sehingga kemudian mewarisi takhta atas kerajaan di Bhumi Jawa.
Pada tahun 850 Masehi Balaputra Dewa dan pengikutnya kembali ke daerah Sumatera Selatan untuk malakukan pertapaan di Gunung Seminung guna memperdalam ilmu dan kesaktian. Sepanjang perjalanan di daerah uluan sumatera selatan sampai ke gunung Seminung Balaputra Dewa di sambut baik oleh penduduk di wilayah bekas kedatuan Sriwijaya karena Balaputra Dewa merupakan keturunan dari wangsa Sailendra Raja-Raja di Bhumi Jawa yang berasal dari Bumi Sriwijaya yang mereka anggap sebagai titisan Jaya Naga sang Maha Raja yang mereka Puja Puja selama ini. Pada saat selesai dari pertapaannya Balaputra Dewa diangkat oleh para sesepuh adat yang terdiri dari pemimpin – pemimpin kelompok Marga untuk menjadi Ratu dan kembali mempersatukan wilayah-wilayah kerajaan Sriwijaya yang telah berdiri sendiri akibat kekosongan pemerintahan selama periode 117 tahun sejak di tinggal Dapunta Hyang Sri Jaya Naga bertapa dan menghilang di Gunung Seminung, dimana daerah-daerah itu hanya di ikat oleh sumpah setia yang mereka percayai selama ini sebagai alat pemersatu semua rumpun suku..

Setelah terjadi kekacauan perdagangan di Kanton antara tahun 820 – 850, pemerintahan Jambi menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka dengan mengirimkan utusan ke China pada tahun 853 Masehi.

Kemudian Balaputra Dewa dengan cepat dapat membangun kejayaan kerajaan Sriwijaya kembali yang berpusat di Palembang dengan dukungan oleh masyarakat di bekas wilayah Kedatuan Sriwijaya . Bahasa yang di pakai oleh kerajaan ini yaitu bahasa Sansekerta. Hal ini yang kemudian membuat kerajaan di Jambi kawatir akan penguasaan kembali oleh dinasti Sailendra sehingga kerajaan Jambi mengirim utusan ke negeri China pada tahun 871 untuk mendapatkan perlingdungan dari Negeri China namun hal ini berlangsung tak lama, kemudian pasukan Balaputra Dewa dapat menguasai Jambi , adapun politik dalam negeri yang selalu dipakai sebagai alat persatuan untuk wilayah-wilayah taklukan kerajaan ini memakai nama Sriwijaya.

Setelah menguasai pulau sumatera sampai ke langkasuka dan keddah semakin kuatlah dinasti Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai kerajaan maritim di pantai timur Sumatera . Dinasti Balaputera Dewa di Swarna Bhumi meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan kerajaan Sriwijaya di abad yang sama.[16]
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan dinasti Balaputera Dewa di Swarna Bhumi sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat Palembang dan mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, Melayu, dan India.
Dinasti Balaputra Dewa di Swarna Bhumi juga membantu menyebarkan kebudayaan Melayu ke seluruh Sumatra, Semenanjung Melayu, dan Kalimantan bagian Barat. Dinasti Balaputra Dewa juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, dan sebuah prasasti tertahun 860 Masehi mencatat bahwa raja Balaputra Dewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda, Pala.
Hubungan dengan dinasti Cola di India selatan di bawah pemerintahan Raja Kesawariwarman Rajaraja pada mulanya cukup baik dan menjadi buruk setelah terjadi peperangan di abad ke-11.
Pada tahun 960 Masehi Raja Sri Udayadityawarman yang merupakan keturunan dari Balaputra Dewa dari Dinasti Sailendra yang pada saat itu memerintah Sriwijaya di SwarnaBhumi mengirim utusan ke China dan mengirimkan berita telah kembali kerajaan Sriwijaya penguasa laut China Selatan yang berada di Swarna Dwipa ( Pulau Sumatera ) dan beribukota di Swarna Bhumi ( Palembang ) , kerajaan ini kemudian terkenal di China dengan nama San-Fo-Tsi yang di artikan Sriwijaya di Swarna Bhumi.

Pada tahun 962 datang lagi utusan kerajaan San-Fo-Tsi di bawah dinasti Sailendra yang merupakan keturunan Raja Balaputra Dewa ke Tiongkok berturut-turut sampai dengan tahun 1097 masehi.

Pada tahun 992 mulai terjadi peperangan antara Dinasti Sailendra di Swarna Bhumi dengan dinasti Sanjaya penguasa Bhumi Jawa. Pada masa itu yang memerintah di Bhumi Jawa adalah Raja Dharmawangsa dari dinasti Sanjaya sedang di San-Fo-Tsi yang memerintah adalah Raja Sri Cudamaniwarmadewa keturunan Balaputra Dewa dari Dinasti Sailendra. Kemudian Armada pasukan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dapat memukul mundur pasukan Raja Dharmawangsa.

Kemudian pada tahun 1003 Raja Sri Cudamaniwarmadewa dari Sriwijaya San-Fo-Tsi mengirim dua orang utusan ke negeri China untuk mempersembahkan upeti pada Kaisar.. Kedua utusan ini menceritakan bahwa di negerinya telah selesai di bangun sebuah candi Budha tempat berdoa , dan mendoakan agar Kaisar di karuniai panjang usia, kemudian kaisar memberikan nama Candi tersebut dengan Cheng-Tien-Wan-Show dan memberikan hadiah Lonceng untuk Candi tersebut.
Pada tahun 1006 Masehi Raja Sri Cudamaniwarmadewa di gantikan oleh penerusnya yaitu Raja Sri Marawijaya Tunggawarman dari Dinasti Sailendra dan menghadiahkan sebuah desa sebagai persembahan kepada Budha dalam Wihara yang di bangun oleh ayahnya Raja Sri Cudamaniwarmadewa .

Tahun 1012 Raja Kasawariwarman Rajaraja Mangkat, kemudian di gantikan putranya yang bernama Rajendra Cola naik tahta untuk memerintah kerajaan Cola Mandala dari India Selatan, yang kemudian membuat politik kerajaan Cola Mandala dengan San-Fo-Tsi mulai berubah.

Pada Tahun 1017 Masehi Raja Rajendra Cola mengirim Bala tentara menyerbu Keddah yang merupakan salah satu pelabuhan yang ada di bawah Kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) serangan ini dapat di patahkan oleh armada-armada laut kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) .
Pada tahun 1025 Masehi Raja Marawijaya Tunggawarman di gantikan oleh Putranya yaitu Pangeran Sangrama Wijaya Tunggawarman , pada tahun inilah permusuhan Kerajaan Cola Mandala dengan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) mencapai puncaknya, dimana Kerajaan Cola Mandala di pimpin oleh Raja Rajendra Cola menyerbu secara besar-besaran terhadap wilayah Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) adapun daerah yang di serbu tersebut antara lain : ibukota Sriwijaya ( Palembang ), Melayu ( Jambi ), Ilamuri ( Lamuri –Aceh ), Manak Kawarna ( Nikobar ), Kadaram ( Keddah ), dan berhasil menangkap Raja Sanggrama Wijaya Tunggawarman di daerah Keddah.
Walaupun demikian kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) tetap berdiri yang kemudian menunjuk penerus Tahta Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) adalah Raja Dewa Kulotungga dari dinasti Sailendra. Meskipun invasi Raja Rajendra Cola tidak berhasil sepenuhnya, tetapi invasi tersebut telah melemahkan hegemoni Sriwijaya ( San Fo Tsi ) yang berakibat terlepasnya beberapa wilayah dengan membentuk kerajaan sendiri, seperti Kediri, sebuah kerajaan yang berbasiskan pada pertanian.

Pada Tahun 1079 Masehi Raja Dewa Kulotungga sebagai Raja Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) memperbaiki Candi Tien Ching di Kota Kuang Cho dekat kanton yang merupakan tempat suci di sebelah utara Kanton. Pada tahun 1080 Raja Dewa Kulotungga wafat dan di gantikan oleh puterinya. Kemudian Puteri Raja Dewa Kulotungga menikah dengan salah satu Bangsawan dari Jambi ini tercatat dalam kunjungan Puteri Raja Dewa Kulotungga pada 1097 sudah di dampingi oleh wakil dari kerajaan Chan-Pi ( Jambi ).
Sebagaimana kita ketahui masyarakat di daerah sumatera selatan mempunyai adat bahwa penerus Jurai atau dinasti itu terletak pada anak laki-laki sebagai penerus tahta kerajaan. Sehingga kebiasaan masyarakat sumatera selatan adalah tempat atau ibukota kerajaan mengikuti Jurai penguasa pada saat itu. Pada masa inilah generasi dari wangsa Sailendra di Swarnabhumi berakhir. Kemudian era selanjutnya adalah kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) berpindah pusat pemerintahannya ke Jambi ini menunjukan bahwa penguasa pada saat itu di pimpin oleh Jurai atau dinasti Melayu dengan gelar Mauli Warmadewa yang berasal dari kata Tamil yang berarti Mahkota Raja-Raja yang menandakan identitas raja-raja dari wangsa Melayu di Jambi.

Sriwijaya di Swarnapura………………………….

Pada masa itu system pemerintahan tradisional di sumatera selatan dimana pusat pemerintahan biasanya mengikuti tempat dimana Jurai ( Dinasti=Wangsa ) yang berkuasa itu berasal . Kemudian raja dari Wangsa Melayu di Sriwjaya( San-Fo-Tsi ) yang terkenal pertama adalah Pangeran Suryanarana yang bergelar Mauli Warmadewa..
Sejak Kepemimpinan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dari wangsa Melayu yang berpusat di Jambi maka Ibukota Pemerintahan pun pindah ke Jambi yang terkenal pada saat itu dengan nama Swarnapura. Kemudian pada masa itu nama ibukota lama ( Palembang ) berubah dari Swarnabhumi menjadi Po-Lin-fong.
Adapun masa pemerintahan Wangsa Melayu di Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) dapat mengembalikan hubungan baik dengan kerajaan Cola Mandala dari India selatan

Pada Tahun 1178 di bawah pemerintahan Raja Sri MahaRaja ( Srimat ) Tri Lokaya Mauli Warmadewa kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) mengirimkan utusan nya ke negeri China yang selama 59 tahun terhenti sejak tahun 1097 dengan membawa berita seperti tertulis dalam Ling-Wai-Taiwa yang di beritakan oleh Cu-Ku-Fei bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni Sriwijaya ( San Fo Tsi ) dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat Sriwijaya memeluk Budha. Berdasarkan sumber ini pula dikatakan bahwa beberapa wilayah kerajaan Sriwijaya ingin melepaskan diri, antara lain Kien-pi (Kampe, di utara Sumatra) dan beberapa koloni di semenanjung Malaysia. Pada masa itu Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) telah membawahi 15 negeri di laut selatan antara lain :
- Pong-Pong ( Pahang ),Tong Ya Nong ( Trenggano ),Ling Ya Si Kia ( Langkasuka ),Kui Lan Tan ( Kelantan ),Fo-Lo-An ( Dungan ), Ji-Li-Tong ( Jelotong ), Tsi Len Mai ( Semang ), Pa Ta ( Batak ), Tan Ma Ling ( Tamalingga ), Ki Lo Hi ( Grahi ), Po-Lin-Pong ( Palembang ), Sin –To ( Sunda ), Kim-Pei ( kampe ), Lan-Ma-li ( Lamuri – Aceh ),Si-Lan ( Sailon ).

Kemudian berturut turut sejak tahun 1178 sampai dengan 1373 Masehi Sriwijaya ( San-Fo-tsi ) seperti yang di beritakan di negeri China adalah beribukota di Jambi .

Pada akhir tahun 1275 tentara Kerajaan Singosari pada masa kepemimpinan Kartanegara mengirim utusan ke Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) untuk mengajak bersama-sama menghadapi pasukan Kubilai Khan dari Mongol dikarenakan utusan Mongol yang bernama Meng Chi yang di utus ke Singosari mendapat perlakuan yang memalukan bagi kerajaan Mongol sehingga membuat Kubilai Khan marah dan bermaksud menyerang kerajaan Singosari.
Utusan Singosari mendapat penolakan dari kerajaan Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) di karenakan Sriwijaya merupakan sekutu dari Kerajaan China.
Menghadapi kondisi Sriwijaya ( San Fo Tsi ) yang tidak mau membantu Singosari akhirnya Singosari memutuskan untuk menyerang dengan maksud dapat merubah sikap Sriwijaya terhadap kerajaan China. Pada saat yang sama utusan Sriwijaya ( San Fo Tsi ) meminta bantuan ke negeri china atas serangan dari kerajaan Singosari tersebut. Dan kemudianKubilai Khan mulai melancarkan serangan ke Singosari yang membuat pasukan Singosari yang berada di perairan Sriwijaya yang siap untuk menyerang ditarik mundur sehingga San Fo Tsi lepas dari cengkeraman Singosari.
Setelah Singosari meninggalkan SwarnaBhumi , San Fo Tsi tidak mampu lagi mengembalikan kebesaran seperti semula. Dan akhirnya pada tahun 1286 kerajaan San Fo Tsi dapat ditaklukan Singosari.
Pada tahun 1293 dengan kematian Jaya Katuwang, San Fo Tsi lepas dari Singosari dan kembali memperoleh kemerdekaannya. Namun sebelum San Fo Tsi dapat menunjukan kebesarannnya kembali telah disusul dengan adanya invasi Patih Gajah mada di bawah kerajaan Majapahit. Kemudian Majapahit menunjuk Adityawarman untuk memeritah kerajaan Malayupura di Darmasraya ( Prasasti Adityawarman 1347 M )

Pada tahun 1373 datang utusan terakhir dari Sriwijaya ( San-Fo-Tsi ) ke Tiongkok yang menyatakan bahwa negerinya telah terpecah menjadi 3 kerajaan :
1. Mahana Po Lin Fong ( di Palembang )
2. Kerajaan Minangkabau ( di Sumatera Barat )
3. Kerajaan Melayu ( di Darmasraya )

Kemudian tahun selanjutnya ketiga kerajaan tersebut berturut turut mengirmkan utusannya ke negeri china untuk memproklamirkan kerajaan mereka, pada tahun 1374 datang utusan dari kerajaan Mahana Po-Lin-Pong ( Maharaja Palembang ), pada tahun 1375 datang utusan dari kerajaan Minagkabau dibawah Raja Adityawarman, dan kemudian pada tahun 1376 datang pula utusan dari kerajaan Melayu yang berkedudukan di Darmasraya.

Dengan demikian , maka berakhirlah riwayat kerajaan San Fo Tsi yang kita anggap sebagai kelanjutan kerajaan Sriwijaya.

Sriwijaya………….
Berawal di Minanga………………
Berjaya di Palembang ……………….
Berakhir di Jambi……………………….
( H.M. Arlan Ismail,SH – 2003 ).