Kalau kita putar mesin waktu kita, sebenarnya "orang orang PA" itu sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Tahun 1912, di Nusantara sudah ada yang namanya DE NEDERLANDSH INDISCHE VEREENIGING TOT NATUUR RESCHERMING kita memang tidak tahu apa artinya, tapi yang jelas ada kat...a Natuur-nya tuh (hehehe!!!!). Hingga pada tahun 1937 terbentuklah BESCHERMING AFDELING VAN'T LAND PLANTETUIN. Inilah kegiatan kepencintaalaman mulai aktif. Tapi kapankah kegiatan pencinta alam secara resmi dimulai di jaman Republik Indonesia?????? Mengapa istilah 'pencinta alam'yang dipilih???? Pertanyaan2 ini mungkin pernah terlintas di benak kita dan juga sering jadi bahan perdebatan. Untuk mencoba menjawabnya, saya ringkaskan artikel dari alm. Norman Edwin berjudul "Awibowo - Biang Pencinta Alam Indonesia" (Mutiara, 20 Juni-3 Juli 1984). Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air. Nama perkumpulannya yaitu "PERKOEMPOELAN PENTJINTA ALAM"(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. "Selesai revolusi kami ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini. Itu kami wujudkan dengan mencintai alamnya,"kata Awibowo yang saat wawancara sudah berusia hampir 80 tahun. Saat pendirian, Awi baru selesai pendidikannya di Universitas Indonesia di Bogor (sekarang IPB). Diskusi ramai digelar bersama teman2nya, ada yang mengusulkan 'penggemar alam, pesuka alam'dsb. Tapi Awi mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka. Gemar/suka mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?"kata dia. Istilah pencinta alam akhirnya dipakai. Tapi bagaimana reaksi masyarakat saat itu. Ternyata orang2 masih merasa aneh karena saat itu istilah cinta masih dikaitkan selalu dengan asmara. Tapi Awibowo dkk terus bergerak. Tujuan mereka adalah memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan anggauta2nya dan masyarakat umumnya. Satu kegiatan besar yg pernah diadakan PPA adalah pameran tahun 1954 dalam rangka ulang tahun kota Jogja. Mereka membuat taman dan memamerkan foto kegiatan. Mereka juga sempat merenovasi "argadhumilah" /tempat melihat pemandangan di Desa Patuk, tepat di jalan masuk Kabupaten Gunung Kidul. PPA sempat meluas hingga anggota datang dari Jogja dan kota lain. Mereka juga sempat menerbitkan majalah "Pentjinta Alam"yang terbit bulanan. Sayang perkumpulan ini tak berumur panjang. Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun 1950. WANADRI (PERHIMPUNAN PENEMPUH RIMBA DAN PENDAKI GUNUNG), merupakan salah satu organisasi tertua yang bergerak dalam kegiatan alam bebas. Wanadri mempunyai sekretariat di kota Bandung. Wanadri berdiri tahun 1964, tahun yang sama dengan tahun lahirnya MAPALA SASTRA UI. Gagasan untuk mendirikan Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri dicetuskan oleh sekelompok pemuda yang sebagian besar adalah bekas pandu pada bulan Januari 1964. Perhimpunan ini kemudian diresmikan pada tanggal 16 Mei 1964. Wanadri terdiri dari sekelompok orang yang mencintai kehidupan di alam bebas. Wanadri lebih jauh lagi merupakan masyarakat tersendiri, yang memiliki aturan dan norma baik tertulis maupun tidak, namun semua itu berlaku dan dihormati. Nama Wanadri berasal dari bahasa Sansekerta. "Wana" berarti hutan dan "adri" itu gunung. Wanadri berarti gunung di tengah-tengah hutan. Visinya berdasar AD/ART adalah menjadi organisasi pendidikan untuk mendidik manusia, khususnya anggotanya untuk mempunyai nilai-nilai yang terkandung dalam hakekat dan janji Wanadri. Tujuan Wanadri adalah membentuk manusia yang mandiri, ulet, tabah. Mendidik anggotanya menjadi manusia Pancasilais sejati, percaya pada kekuatan sendiri. Di Fakultas Sastra UI, sebelum berdirinya Mapala UI, sudah terdapat kelompok – kelompok mahasiswa yang gemar bertualang di alam bebas. Mereka yang terdiri dari mahasiswa Arkeologi dan Antropologi yang banyak turun ke lapangan serta mereka yang pernah tergabung dalam organisasi kepanduan. Sayangnya kelompok – kelompok ini tidak terkoordinir dengan baik dalam satu wadah dan mereka juga tidak pernah membuka diri dengan peminat – peminat baru di luar jurusannya. Adalah seorang Soe Hok Gie yang mencetuskan ide pembentukan suatu organisasi yang dapat menjadi wadah untuk mengkoordinir kelompok – kelompok tadi, berikut kegiatan mereka di alam bebas. Gagasan ini mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Sdr. Soe sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama IKATAN PENCINTA ALAM MANDALAWANGI itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Adapun organisasi yang diidamkan Sdr. Soe itu merupakan organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas, dan ini dikhususkan bagi mahasiswa FSUI saja. Kegiatan ini terutama pada masa liburan. Bedanya dengan kelompok yang ada, gagasan ini terutama ditekankan pada perlunya memberikan kesempatan pada mereka yang sebelumnya pernah keluyuran , untuk melihat dari dekat tanah airnya. Namun pada akhirnya usaha ini gagal karena ada kesalahan teknis pada saat akan diadakan pendeklarasian di Cibeureum pada November 1964. Meskipun usaha pertama gagal, para perintis ini tidak menyerah. Sementara mematangkan ide, mereka bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Dan pada waktu itu segala yang borjuis, habis diganyang. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. MAPALA merupakan singkatan dari MAHASISWA PENCINTA ALAM. Dan "Prajnaparamita" berarti dewi pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan. Dewi Prajnaparamita juga menjadi lambang dari senat FSUI saat itu. Lambang yang digunakan adalah gambar dua telapak kaki dengan tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA dibawahnya. Telapak kaki kiri terletak lebih kedepan dari telapak kaki kanan. Hal ini melambangkan kehadiran di alam bebas dalam bentuk penjelajahan dan sebagainya. Selain itu lambang telapak kaki ini juga diilhami penggunaan tapak kaki oleh raaja Purnawarman dalam prasasti – prasastinya yang dapat diartikan lambang kebesaran. Dibawah tulisan MAPALA PRAJNAPARAMITA ditambah tulisan FSUI yang menunjukkan tempat bernaungnya organisasi ini. Pada tanggal 11 Desember pukul 06.30 semua peserta yang mencapai lebih dari 30 orang berkumpul di lapangan Banteng dan berangkat. Pada pukul 11.00, mulailah rombongan mendaki lereng – lereng terjal dari bukit kapur Ciampea. Hari yang panas waktu itu membuat beberapa peserta ”anak mami” kelelahan dan merepotkan panitia. Jam 14.30 peserta tiba di bukit. Tenda segera didirikan. Pada malam hari angin bertiup sangat kencang dan hujan lebat. Tenda banyak yang roboh, sehingga peserta banyak yang berteduh di gubuk yang kebetulan ada disitu. Hampir saja peresmian Mapala dibatalkan karena sampai dengan jam 20.00 hujan masih lebat. Namun akhirnya pada pukul 21.00 hujan berhenti dan bulan bersinar terang. Semua peserta yang basah kuyup dikumpulkan untuk mengadakan rapat pembentukan MAPALA yang dipimpin Sdr. Soe. Ketika rapat sedang berjalan, tiba – tiba datang tamu dari Jakarta yaitu Bpk Soemadio, Bpk soemadjito dan Mang Jugo Sarijun yang sengaja datang untuk menyaksikan upacara peresmian MAPALA. Sdr Maulana terpilih sebagai ketua pertama dan formatur tunggal. Sampai dengan tahun pertama, Mapala telah memiliki 12 orang anggota yaitu AS Udin, Rahaju, Surtiarti, Ratnaesih, Endang Puspita, Mayangsari, Soe Hok Gie, Judi Hidajat, Edhi Wuryantoro, Koy Gandasuteja, Wahjono, dan Abdurrahman. Sampai tahun 1970-an, di beberapa fakultas di UI terdapat beberapa organisasi pencinta alam antara lain : Ikatan Mahasiswa Pencinta alam (IMPALA) di Psikologi, Climbing And Tracking Club (CATAC) di Ekonomi, Yellow Xappa Student Family (Yexastufa) di Teknik, Climbing And Tacking (CAT) di Kedokteran dll. Setelah berjalan beberapa waktu di akultasnya masing–masing, organisasi–organisasi ini merasakan dan menyadari bahwa Mapala UI yang telah terbentuk dan disetujui oleh Rektor UI (Prof. DR. Sumantri Brojonegoro (Alm.)) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa adalah milik seluruh mahasiswa UI. Oleh karena itu organisasi–organisasi tersebut setuju untuk bersatu dalam satu wadah yaitu MAPALA UI. Kemudian pada tahun 1970, WANADRI memprakarsai Gladian Nasional yang merupakan pertemuan akbar pecinta alam se Indonesia. Menurut bahasa berasal dari “gladi” (bahasa Jawa) yang mempunyai arti “latihan” sehingga Gladian Nasional bisa diartikan sebagai “ajang latihan” bagi para pecinta alam guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan dalam bidang kepecintaalaman dan kegiatan alam bebas. Gladian Nasional juga berperan sebagai wahana silaturahmi dan berbagi pengetahuan antar perkumpulan pecinta alam se Indonesia. Pada awalnya kegiatan ini diadakan oleh WANADRI sebagai ajang latihan bagi anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam gladian ini antara lain mountaineering, pengenalan SAR, acara kekeluargaan, serta tukar menukar informasi dan pengalaman. Selain anggota WANADRI dalam kegiatan ini diundang pula beberapa perhimpunan- perhimpunan pencinta alam dan pendaki gunung yang ada di Jawa. Dalam acara gladian yang kemudian dikenal sebagai Gladian Nasional I ini hadir 109 orang dari 18 perhimpunan. Pada kesempatan itu pula akhirnya disepakati bersama untuk menyelenggarakan gladian-gladian selanjutnya sebagai media pertemuan dan latihan pencinta alam dan pendaki gunung di Indonesia. Salah satu Gladian Nasional yang fenomenal adalah Gladian Nasional IV yang berlangsung di Sulawesi Selatan di mana dalam gladian ini berhasil disepakati KODE ETIK PENCINTA ALAM INDONESIA yang masih dipergunakan oleh berbagai perkumpulan pecinta alam di Indonesia hingga sekarang. Meskipun tidak rutin dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu namun Gladian Nasional telah berhasil dilaksanakan beberapa kali. Berikut adalah daftar pelaksanaan Gladian Nasional: * Gladian Nasional I diselenggarakan oleh WANADRI pada tanggal 25 – 29 Februari 1970 di tebing Citatah Jawa Barat. * Gladian Nasional II diselenggarakan pada tahun 1971 di Malang Jawa Timur yang diselenggarakan oleh TMS 7 Malang. * Gladian Nasional III diselenggarakan di Pantai Carita, Labuhan, Jawa Barat pada bulan Desember 1972. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Pencinta alam dan Penjelajah Alam se-Jakarta. * Gladian Nasional IV diselenggarakan di P. Lae-Lae dan Tana Toraja Sulawesi Selatan pada bulan Januari 1974. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Kerja sama Club Antarmaja Pencinta Alam se-UjungPandang. Dalam gladian IV yang dihadiri oleh 44 perhimpunan organisasi pecinta alam ini berhasil menyepakati Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang masih dipergunakan hingga sekarang. * Gladian Nasional V diselenggarakan di Jawa Barat pada bulan Mei 1978. Gladian ini semula direncanakan dilaksanakan pada tahun 1974 namun baru bisa berhasil diselenggarakan pada tahun 1978 oleh WANADRI bekerja sama dengan berbagai perhimpunan organisasi Pecinta Alam (dan sejenisnya) se Jawa Barat. * Gladian Nasional VII diselenggarakan di Kalimantan Tengah. * Gladian Nasional IX dilaksanakan di Lampung pada bulan Januari 1989. * Gladian Nasional X diselenggarakan di Jawa Barat pada tanggal 5–10 September 1994. * Gladian Nasional XI dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 4–11 Agustus 1996. * Gladian Nasional XII dilaksanakan di Jawa Timur dari tanggal 28 Mei- 5 Juni 2001. * Gladian Nasional XIII direncanakan dilaksanakan pada tanggal 7-17 Agustus 2009 di Mataram Nusa Tenggara Barat. Sedangkan divisi pemanjatan tebing mencatat pada tahun 1977, Skygers Amateur Rock Climbing Group didirikan di Bandung oleh Harry Suliztiaito, Agus Resmonohadi, Heri Hermanu, Deddy Hikmat. Inilah awal tersebarnya kegiatan panjat tebing di Indonesia
sumber : Ahmad Deliar Nur & berbagai sumber