Raja dalam prasasti Sriwijaya ber-angka 681 Masehi (604 Saka) yang ditemukan di Kedukan Bukit, Palembang. Menurut prasasti itu, Dapunta Hyang yang namanya tak tersebut, naik di samvau (kapal), bertolak dan Minanga Tamwan membawa tentara 20.000 orang. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat yang dibaca sebagai Malayu, Mata Jap, Mata Danau dan terakhir di “mukha Upang”. Upang adalah desa di dekat muara S. Musi. Gelar Dapunta Hyang di Jawa dipakai oleh para pendeta.
Baik pada piagam Talang Tuwo maupun pada piagam Kedukan Bukit, telah kita jumpai gelar dapunta hyang, tanpa mengetahui tepat bagi siapa gelar itu diperuntukkan. Mengingat bahwa menurut berita Tionghoa, dari sejarah Sung banyak keluarga di kerajaan San-fo-ts’i yang bergelar pu, maka gelar dapunta hyang harus diperuntukkan bagi orang yang amat tinggi kedudukannya.
Kehormatan yang amat tinggi itu ditunjukkan dengan bubuhan da-, -ta, dan sebutan hyang. Pemakaian gelar terikat pada waktu clan tempat. Oleh karena itu, mungkin sebutan atau gelar yang sama, berbeda maknanya antara di Jawa dengan di Sumatra. zaman sekarang, kata teuku atau tengku di Aceh clan Persekutuan Tanah Melayu menunjukkan keturunan raja yang masih akrab. Demikian pula, gelar atau sebutan tengku clan ungku di Johor. Tetapi, sebutan tengku atau engku di Minangkabau biara digunakan untuk menyebut seorang guru. Derajatnya sama dengan Pak zaman sekarang di Indonesia, clan chikgu di Singapura. Misalnya, engku Sulaiman (Minangkabau) = chikgu Sulaiman (Singapura) = pak Sulaiman (Indonesia sekarang). Ringkasnya, gelar atau sebutan itu dalam pemakaiannya dapat mengalami perubahan semantik.
Pada piagam dari tahun 860 di Jawa, terdapat gelar dapunta, yakni dapunta Anggada. Contoh lain, dapunta i Panunggalan: yang dipertuan di Panunggalan ; dapunta Marhyang. Dapunta Anggada adalah pembesar biara. Bagaimanapun, dapunta adalah gelar yang berhubungan dengan kehidupan di biara.
Hingga sekarang, menurut De Casparis, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa dapunta itu digunakan sebagai gelar raja. Jika kita memerhatikan piagam lain sebagai analogi, maka berdasarkan analogi itu mungkin dapat diambil kesimpulan. Yang saya maksud ialah gelar yang kedapatan pada piagam Khmer, yang telah diterbitkan oleh Coe&s dalam REEEO. 18, 6 (1918), dan pada piagam Kertanegara yang ditemukan di tepi sungai Langsat. Nama raja Melayu (Sriwijaya) pada piagam Khmer ialah crimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmmadewa, dan pada piagam Kertanagara crima Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa. Kedua-duanya menggunakan gelar frimat, di India Selatan berarti “tuan”, dan dipakal khusus dalam kehidupan keagamaan. Tetapi gelar crimat itu di wilayah kerajaan Melayu pada tahun 1286 terang digunakan sebagai gelar raja.
Kata crimat sebagai gelar di India Selatan sama tepat dengan kata dapunta di Jawa pada tahun 860. Kedua-duanya digunakan sebagai gelar pembesar biara. Jika kita mengenal crimat Trallokyaraja Maulibhusana Warmmadewa pada piagam Khmer dan crimat Tribhu wanaraja Mauliwarmmadewa pada. piagam Kertanagara, maka pada piagam Talang Tuwo, kita mengenal dapunta hyang Sri Jayanaga. Dapunta hyang memberikan pesan kepada segenap rakyat untuk menikmati hadiah taman.
Hingga sekarang, orang berpendapat bahwa. piagam Talang Tuwo adalah piagam Sriwijaya, dan hadiah taman itu diberikan oleh raja Sriwijaya. Kiranya, yang memberi pesan ialah raja Sriwijaya. Yang berpesan adalah orang yang bergelar dapunta hyang. Segala puji-pujian yang muluk dan doa diperuntukkan bagi dapunta hyang, yang memberi hadiah taman. Jadi, logisnya dapunta hyang adalah gelar raja Sriwijaya. Pada piagam Talang Tuwo itu, yang bergelar dapunta hyang, ialah Sri Jayanaga (ca). Jadi, Sri Jayanaga adalah raja Sriwijaya pada. tahun 684. Pada piagam Kedukan Bukit, juga disebut dapunta hyang tanpa diikuti nama. Sama dengan dapunta hyang pada piagam Talang Tuwo baris 2. Mengingat bahwa selisih waktu antara piagam Kedukan Bukit dan piagam Talang Tuwo hanya satu tahun saja, maka kiranya dapunta hyang pada. Kedukan Bukit itu adalah dapunta hyang Sri Jayanaga juga.
Andaikata dapunta hyangpada piagam Kedukan Bukit itu hanya gelar kepala biara, seperti dapunta. Anggada, maka agak aneh bahwa kepala biara ikut campur dengan urusan ketentaraan. Juga, (pada plagarn. Talang Tuwo) agak aneh bahwa kepala biara memberikan hadiah taman (tidak hanya satu) kepada. masyarakat. Biasanya kepala biara malah mendapat hadiah dari raja atau pembesar lainnya. Yang menimbulkan dugaan bahwa dapunta hyang adalah kepala biara, kecuali perbandingan dengan dapunta pada piagam Jawa Kuno, juga penemuan pecahan piagam, di mana terdapat pecahan kalimat yang berbunyi: wihara ini diwanua ini. Sudan jelas bahwa Dapunta Hyang datang di Matadanau untuk membuat wanua. Dari pecahan piagam tersebut, nyata bahwa di wanua itu terdapat biara. Berdasarkan jalan pikiran di atas, maka biara itu adalah hadiah raja Sriwijaya, yang bergelar dapunta hyang.
Dari pelbagai piagam, nyata sekah bahwa raja-raja Sriwijaya sikapnya sangat baik terhadap agama. Budha, bahkan menjadi promotor untuk kesuburan agama tersebut. Setidak-tidaknya, raja Sriwijaya menjadi pelindungnya, jika tidak langsung turut campur dalam urusan agama secara aktif.
Pun, dalam piagam Nalanda dinyatakan bahwa Balaputra, dewa yang menyebut dirinya Suwarnadwipadhiparnahraja, keturunan Yawabhumipalah, mendirikan sebuah wihara di Nalanda. Meskipun menurut tafsiran soal mendirikan biara itu mempunyai maksud politik, yakni untuk mengeratkan persahabatan dan kemudian untuk memperoleh bantuan dari India, namun ditinjau dari sudut keagamaan, hadiah biara itu menunjukkan kecenderungan raja Sriwijaya kepada agama Budha.
Pada charter Leiden, yang tertulis dalam bahasa Tamil, dinyatakan juga bahwa cri Marawijayotunggawarman, putra raja Cudamaniwarman keturunan Sailendra, raja Kataha dan Sriwijaya, menghadiahkan sebuah desa di Nagippattana. Ayahnya menghadiahkan sebuah biara yang diberi nama Cudamantwarmanwihara. Hadiah itu diberikan pada tahun pertama pemerintahan raja Cola Rajaraja I (1005/1006). Dalam persahabatannya dengan Tiongkok, raja Sanfo-ts’i, Ti-hua-ka-lo (Dewa Kalottungga), memperbaiki candi Tien Ching di Kanton dan menghadiahkan 400.000 uang emas, yang kemudian digunakan untuk membeli ladang padi guna membina candi dan Para pendeta di biara. Raja San-fo-ts’i, Ti-hua-ka-lo, mendapat julukan jenderal besar yang menyokong pembaharuan ibadah dan keutamaan. Perbaikan candi Tien-Ching dilakukan pada tahun 1079.
Dari contoh-contoh di atas, terbukti bahwa raja-raja Sriwijaya sering menghadiahkan biara untuk kepentingan kehidupan keagamaan di luar negeri. Tidaklah aneh jika raja Sriwijaya juga menghadiahkan sebuah biara di negerinya sendiri yang diperingati pada pecahan piagam yang terdapat di Telaga Batu, tempat dapunta hyang mendirikan wanua. Pemberian hadiah biara bertalian dengan perjalanan jaya yang dilakukan oleh Dapunta Hyang dari Muara Tebo atas kemenangan terhadap kerajaan Melayu, dengan diikuti oleh dua puluh ribu tentara.
Pembangunan biara yang demikian adalah gejala biara. Sebuah manifestasi rasa terima kasih. Pembangunan candi Tara di Kalasan pada tahun 778 juga bertepatan dengan munculnya rajakula Sailendra Pancapana Panangkaran dan berhentinya rajakula Sanjaya, yang menggunakan perhitungan tarikh Sanjaya. Piagam yang rnenggunakan tarikh Sanjaya yang terakhir ialah piagam Taji Gunung (O.J.G. XXXVI). Pembangunan bangunan suci sebagai manifestasi rasa terima kasih seorang raja yang demikian banyak dilakukan di luar negeri.
sumber :mikoto, dipi, indonesiaindonesia.com